Selasa, 23 Juni 2015

Optimalisasi Penggunaan Infrastruktur Jaringan

Pertumbuhan komunikasi data dan menurunnya komunikasi suara mengakibatkan masa emas operator seluler mengalami penurunan pertumbuhan pendapatan. Hal ini terlihat dari penurunan revenue beberapa operator maupun vendor  telekomunikasi di Indonesia dan dunia, bahkan sampai melakukan efisiensi baik dalam bentuk merger, akuisisi, manage services, outsource dll. Efisiensi tersebut merupakan usaha untuk melakukan pemangkasan resource cost yang besarnya berbanding lurus dengan waktu. Salah satu tantangan industri telekomunikasi saat ini adalah bagaimana cara menurunkan network cost untuk meningkatkan pendapatan dari trafik data.
Dalam melakukan efisiensi terhadap network cost tersebut, kita perlu terlebih dahulu memahami regulasi-regulasi tentang penyelenggaraan jaringan khususnya yang saat ini berlaku di Indonesia. Model perizinan sesuai undang-undang 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagaimana gambar di bawah ini:
Permasalahan saat ini, regulasi telekomunikasi (UU 36/1999) sudah obsolete dimana hirarki penyelenggara telekomunikasi terlihat rumit antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi. Maka dari itu, Penyelenggara telekomunikasi dalam konsep RUU Telekomunikasi yang baru terkait penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi diusulkan sebagai berikut:
Dengan memahami konsep pembagian penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi sebagaimana di atas, maka perlu adanya model transisi penyelenggaraan telekomunikasi di Indonedia. Usulan penerapan perizinan penyelenggara jaringan dan jasa sebagaimana konsep di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Transisi dari perizinan yang sekarang menjadi hirarki penyelenggara dalam RUU tergantung masing-masing layanan yang ditawarkan penyelenggara dalam perizinan RUU baru, apakah akan unified lisencing, atau masih detail sampai menyebut jenis jaringan, teknologi, dan kegiatan usahanya (sebagai contoh izin penyedia layanan jaringan akses berbasis LTE, atau izin penyedia layanan jaringan dan boleh menyelenggarakan layanan jaringan menggunakan teknologi dan media apapun).

Sebelum melangkah lebih jauh, ada dua hal yang perlu dijawab terkait bagaimana konsep Peraturan Pemerintah/Peraturan Menteri terkait konsep RUU Telekomunikasi yang baru.
  1. Apakah pemegang lisensi frekuensi wajib menjadi penyelenggara layanan jaringan (harus memiliki/membangun jaringan akses sendiri) ?
  2. Apakah penyelenggara layanan jaringan diperbolehkan dari non-operator seluler (third party)?
Untuk mengatasi hal di atas, ada beberapa alternatif implementasi regulasi telekomunikasi yang lebih fleksibel yaitu antara lain:
  1. Fleksibilitas teknologi                 : Neutral technology
  2. Fleksibilitas spektrum                 : Spectrum flexibility
  3. Fleksibilitas penyelenggaraan     : MVNO 
  4. Fleksibilitas infrastruktur            : Network sharing
  5. Fleksibilitas wilayah layanan      : Roaming
Dalam rangka optimalisasi penggunaan infrastruktur jaringan di Indonesia, maka alternatif fleksibilitas regulasi pada paparan ini difokuskan pada fleksibilitas infrastruktur (network sharing). Dasar hukum network sharing yang saat ini digunakan yaitu Peraturan Menteri nomor 1 tahun 2010 pasal 49, "Penyelenggara jaringan bergerak seluler dapat menyewakan jaringannya kepada penyelenggara jaringan bergerak seluler lainnya".

Adapun terdapat beberapa model network sharing yang banyak diadopsi oleh beberapa negara. Model network sharing tersebut sebagaimana gambar di bawah ini:

Untuk kasus Multiple Operator Core Network (MOCN) merupakan gabungan dari regulasi network sharing dan spectrum sharing/pooling.

Berdasarkan regulasi saat ini, network sharing (site sharing, backhaul sharing dan MORAN) sudah bisa diimplementasikan tanpa perlu merubah regulasi yang ada. Untuk kasus MOCN dimana terdapat aturan tentang spectrum sharing diperlukan adanya beberapa perubahan terhadap regulasi yang ada dan akan dibahas dalam kajian tersendiri.

Kamis, 19 Februari 2015

Peranan Standardisasi Terhadap Peningkatan Ekonomi

Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkan proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib melalui kerjasama dengan semua pihak yang berkepentingan disebut dengan standardisasi.

Berdasarkan buku “The aims and principles of Standardization”  yang diterbitkan oleh ISO, dijelaskan beberapa prinsip dasar standardisasi antara lain : (a) standardisasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan sadar dengan tujuan penyederhanaan (mengurangi keanekaragaman) oleh suatu masyarakat tertentu. (b) standardisasi adalah suatu kegiatan sosial, politis dan ekonomis dan sejogianya digalakkan oleh berbagai pemangku kepentingan secara konsensus. (c) standar hanya bermanfaat bila digunakan dan diterapkan dengan benar. (d) standar merupakan kompromi antara berbagai alternatif yang ada, dan mencakup ketetapan terbaik serta penerapan yang bijaksana selama kurun waktu tertentu. (e) standar perlu ditinjau ulang dalam perioda tertentu dan direvisi atau bila perlu dinyatakan tidak berlaku lagi agar standar yang berlaku selalu sesuai dengan perkembangan di masyarakat. (f) bila karakteristik produk di spesifikasi, maka harus didesain pula metode pengujiannya (secara jelas). (g) bila suatu standar harus ditetapkan secara wajib, maka hal ini harus didukung oleh regulasi teknis pihak berwajib dan memenuhi peraturan-perundangan yang berlaku. Dalam buku tersebut juga dijelaskan tujuan dari standardisasi meliputi beberapa aspek sebagai berikut :
  1. Kesesuaian untuk penggunaan tertentu (fitness for purpose)
  2.  Mampu tukar (interchangeability)
  3.  Pengendalian keanekaragaman (variety reduction)
  4. Kompatibilitas (compatibility)
  5. Meningkatkan pemberdayaan  sumber daya
  6. Komunikasi dan pemahaman yang lebih baik
  7. Menjaga keamanan, keselamatan dan kesehatan
  8. Pelestarian lingkungan
  9. Menjamin kepentingan konsumen dan masyarakat
  10. Mengurangi hambatan perdagangan
Isu standardisasi kini sedang menjadi bahan diskusi berkenaan dengan adanya kesepakatan AEC (Asean Economic Community) dimana dalam salah satu pilar terkait Single Market and Production dijabarkan mengenai konsep free flow of goods, free flow of service, free flow of investment, free flow of capital, free flow of skill labor. Disisi lain, untuk mewujudkan target MP3EI sampai dengan tahun 2025 dengan PDB berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun,diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. 


Dengan adanya kesepakatan AEC tersebut, Indonesia harus meningkatkan daya saing guna mengambil keuntungan dari kesepakatan AEC terutama untuk meningkatkan kondisi perekonomian di Indonesia. Standardisasi merupakan salah satu aspek penting dalam meningkatkan daya saing untuk menghadapi era AEC tersebut.

Berdasarkan kajian  BIS (Bureau of Indian Standards) standardisasi berpengaruh sebesar  4,2% efisiensi dari sektor perubahan desain; 19% efisiensi dari penerapan standar pada berbagai seksi produksi; 14,6% penghematan dari sektor perubahan pemakaian penyambungan las sebagai pengganti penggunaan baut untuk konstruksi; 30,4% penghematan dari proses pengelasan; 42% penghematan dari penggunaan peralatan dan perlengkapan pengelasan standar.  Dimana kontribusi standar secara keseluruhan bagi India yaitu sebesar US $ 82 milyar. Berdasarkan kajian  kajian Japan Accreditation Board (JAB) menyebutkan bahwa sertifikasi sistem manajemen lingkungan di Jepang telah mampu meningkatkan effisiensi beban lingkungan sebesar 30% dilingkungan  kantor (saving energi/sumberdaya untuk kertas/listrik); 47% di seluruh site (zero emmission); 10% pada kegiatan bisnis (produk/jasa perusahaan); 5% pada mitra bisnis; 6% pada aktivitas perubahan kegiatan bisnis menjadi bisnis yang ramah lingkungan; dan lain-lain sebesar 2%.

Sedangkan referensi-referensi lain juga menginformasikan dampak standardisasi dalam perekonomian disuatu negara. Adapun berdasarkan referensi-referensi yang telah saya kumpulkan, pengaruh standardisasi terhadap perekonomian di berbagai negara sebagai berikut :
  • Jerman : 1% perubahan jumlah standard mempengaruhi 0.7% sampai 0.8% perubahan terhadap kondisi ekonomi di Jerman.
  • Inggris : 1% perubahan jumlah standard mempengaruhi 0.054% perubahan terhadap produktivitas tenaga kerja. Standar meningkatkan 13% produktivitas pekerja selama kurun waktu 1998-2002.
  • Kanada : 1% perubahan jumlah standard mempengaruhi 0.356% perubahan terhadap produktivitas tenaga kerja.
  • Perancis : 1% perubahan jumlah standard mempengaruhi 0.12% perubahan terhadap TFP (Total Factor Productivity). Rata-rata pengaruh standardisasi selama periode 1850-2007 terhadap TFP adalah sekitar 0.81% per tahun atau hampir 25% dari pertumbuhan GDP.
  • New Zeeland : 1% perubahan jumlah standard mempengaruhi 0.10% perubahan terhadap TFP dan 0.054% produktivitas tenaga kerja.
  • Australia : 1 % peningkatan jumlah standard meningkatkan 0.17% GDP.
  • Indonesia : Pengaruh standard terhadap fungsi ekonomi bisnis adalah 0.43% dari total revenue (pendapatan) atau hampir 6% dari EBIT. (Studi kasus PT. Wika Beton)
Standards for Sustainable Development and Better Life

Development Model of Broadband PPDR

Public Protection and Disaster Relief (PPDR) is an activity of prevention, treatment and protection against things that harm other people who may have a significant effect, injury, loss or damage such as crime and disaster whether caused by people or nature which important for the creation of a secure and comfortable condition in the community so that it can support national stability. 

Today, the communication systems in supporting public safety agencies have different standards, such as by using different frequency range between 300 MHz – 800 MHz and by using different technologies. The most widely used technologies are the conventional systems, trunking systems, PSTN (Public Switched Telephone Network) and commercial cellular networks. In the fact, the condition of public safety in Indonesia still independent which do not support interoperability among the agencies. It causes the difficulty of coordination between agencies responding to disasters. In addition, public safety network in Indonesia is still based on narrowband. The capital expenditure (capex) and operational expenditure (opex) will require high investment cost when each of public safety agencies build their own broadband network independently. So, it will burden the government budget while public safety traffic is only on emergency conditions which based on the data of Operational Statistic and Traffic Site Summary, the average channel occupation of the communication during emergencies or disasters which occurred is 31.32 percent from total capacity or 7.52 hours/day.

At the same time, Government and public sector agencies are two major new comers. Indonesia economic master plan (MP3EI) launched in 2011 had included the broadband services as one of national connectivity infrastructure. The master plan also requires broadband services to support the Megapolitan zone development, such as Jakarta Great area which includes the responsible agencies and organizations dealing with maintenance of law and order, protection of life and property, emergency situations, dealing with a serious disruption of functioning of society, posing a significant widespread threat to human life, health, property or environment, whether caused by accident, natural phenomena or human activity, and whether developing suddenly or as a result of complex long-term processes. 

Consistent with the issue of broadband public safety, based on Ministerial Decree number 22 year 2011, The Ministry of Communications and Information Technology of Indonesia has planned migration of analog terrestrial television to digital television services which targeted until 2018. An opportunity to use the 700 MHz for Broadband PPDR frequency allocation. In the article 4 of Ministerial Decree number 18 year 2005, it is declared that in the case of the government entities want to use telecommunication network, they could to lease it from the network provider. In the other hand, specialy in the article 7 of Ministerial Decree number 18 year 2005 declared that the government entities are prohibited to collect the payment of their network.

Public and private partnership (PPP) development model of broadband public safety between cellular operator and public safety agencies such as the local government, police agency, Health Department, Fire Brigade, and the National Disaster Management Agency is a challenge for the government to provide broadband access and lower development cost than each of the public safety agencies build a broadband network independently.

I used to think that the model of broadband public safety in Indonesia can be developed by using investment budget cost to build a broadband network independently of each agency so that to compensate public safety user traffics will be used from it. Public safety users are the member of cellular users that will be given priority access or Quality of Service (QoS) but they are not as profitable users for cellular operator. So, the cellular operator is only get expense infrastructure compensation due to the addition of user traffics of public safety and the feasibility of this model can be measured by the Net Present Value (NPV) calculations. This idea may be implemented.
Voltar Avançar Inicio
 

Topo